Penulis: Gerald Yoseph Turambi – Mahasiswa Sekolah Tinggi filsafat Seminari Pineleng.
Religi|||CK- Setiap manusia memiliki jalan dan panggilan hidupnya masing-masing. Ada yang terpanggil menjadi seorang tenaga pendidik, kesehatan dan berbagai profesi lainnya, namun juga ada yang terpanggil untuk menjalani hidup sebagai satu keluarga (menikah), atau hidup untuk melayani Gereja dan umat beriman (selibat). Panggilan untuk tidak menikah, atau yang disebut juga sebagai hidup selibat, berasal dari bahasa latin “Caelibatus”, yang berarti tidak menikah. Selibat merupakan bentuk panggilan hidup yang memiliki makna penyerahan diri secara murni dan total kepada Tuhan, demi Kerajaan Allah. Hidup selibat merupakan tradisi kekristenan, yang dipandang sebagai bagian dari hidup bakti untuk Tuhan, juga sebagai askese untuk tidak menikah. Hal ini dipandang sebagai bagian dari hidup spiritual yang mengabaikan ikatan duniawi, untuk lebih fokus dan terarah pada pelayanan, kesucian dan hubungan yang lebih intim dengan Tuhan. Selibat bukanlah suatu paksaan, melainkan sebuah pilihan yang datang dan disertai dengan berbagai macam tantangan serta pengorbanan. Tetapi bagi sebagian orang, selibat menjadi suatu kebahagiaan yang sejati. Sebelumnya, hidup selibat telah di praktikan dalam tradisi dan kebudayaan lainnya, seperti dalam tradisi kuno Hindu dan Budha serta tradisi Mesir Kuno dan Romawi. Dalam kekristenan, hidup selibat juga telah dipraktikan oleh para rahib maupun para petapa pada masa awal dan dilanjutkan oleh Gereja hingga saat ini. Dalam Konsili Elvira tahun 306, Gereja mulai mengatur kehidupan selibat bagi rohaniwan, terutama bagi uskup, imam dan diakon. Kemudian pada abad pertengahan, yaitu abad ke-11, Gereja Katolik Roma secara resmi mewajibkan selibat bagi para imam, melalui Konsili Lateran I tahun 1123 dan Konsili Lateran II pada tahun 1139. Selanjutnya Gereja menegaskan kembali mengenai hidup selibat sebagai bagian dari pembaharuan setelah tantangan dari gerakan reformasi Protestan, dalam Konsili Trente (1545-1563).
Gerald Yoseph Turambi (Foto IST)
Dasar Biblis hidup selibat.
Dalam Kitab Kejadian, Allah menciptakan pria dan wanita, untuk hidup berdampingan, serta saling melengkapi dan diberikan tugas untuk memenuhi bumi. Tentunya ayat ini mau mengingatkan kepada kita bahwa setiap pria dan wanita diberikan tugas untuk memenuhi bumi, dalam panggilan hidup berkeluarga. Namun disisi lain juga, Gereja memandang bahwa hidup selibat sama baiknya dengan hidup panggilan untuk menikah. Gereja katolik mengajarkan secara dogmatis, bahwa keadaan keperawanan atau keselibatan, merupakan keadaan yang lebih tinggi dari pada pernikahan. Dogma tersebut di keluarkan oleh Paus Pius ke-IV, dalam Konsili Trente, 11 November 1563, yang sangan berkaitan dengan Kitab suci, terlebih dapat dibandingkan dengan Injil Matius 19:1 dan 1 Korintus 7:25. Tentunya hal ini tidak mengatakan bahwa pernikahan adalah hal yang buruk. Pernikahan tentunya merupakan keadaan yang baik, jika dilakukan sesuai norma yang berlaku. Paulus, dalam suratnya kepada jemaat di Korintus, mengajarkan secara jelas bawha hidup selibat merupakan hal yang lebih baik dari pada pernikahan (1 Korintus 7). Selain pengajaran dari rasul Paulus, kita juga dapat menemukan hal yang sama dari pengajaran Yesus sendiri, yang terdapat dalam Injil Matius 19: 11-12. “ Ia berkata kepada mereka: Tidak semua orang dapat mengerti perkataan itu, hanya mereka yang dikaruniai saja. Ada orang yang tidak dapat kawin, karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Surga. Siapa dapat mengerti, hendaklah ia mengerti”. Dari ayat tersebut, sangat jelas perkataan Yesus mengenai mereka yang hidup selibat, memilih tidak menikah demi Kerajaan Surga. Yesus juga menjadi role model dalam menghayati kehidupan selibat. Dalam kehidupan-Nya, Ia menunjukan pengandian diri secara total kepada seluruh kehendak Bapa-Nya. Dalam Kitab Suci juga, Kristus dan Gereja sering digambarkan sebagai hubungan sebagai mempelai. Dalam Wahyu 14:4 dikatakan bahwa mereka yang mau mengikuti Anak Domba, harus menyerahkan diri secara total dan murni dan mencemarkan diri. “Mereka adalah orang-orang yang tidak mencemarkan dirinya dengan perempuan-perempuan, karena mereka murni sama seperti perawan. Mereka adalah orang-orang yang mengikuti Anaka Domba itu kemana saja Ia pergi” (Wahyu 14:4). Dasar biblis untuk hidup selibat ini, terletak pada teladan Kristus, serta ajaran para Rasul yang diterima langsung dari Kristus sendiri. Kitab suci sendiri mengajarkan bahwa hidup selibat merupakan bagian yang istimewa dan dipandang sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Gerald Yoseph Turambi (Foto IST)
Dasar Patristik hidup selibat.
Berabad-abad lamanya, para Bapa Gereja telah merumuskan ajaran mengenai hidup selibat. Bapa-bapa Gereja memandang, bahwa hidup selibat merupakan anugerah Ilahi, serta bentuk pengabdian diri secara total kepada Allah. Berikut beberapa pandangan hidup selibat menurut para Bapa Gereja:
St. Ignatius dari Antiokhia (35-108 M)
Ignatius sangat menekankan pentingnya hidup selibat. Hal tersebut nampak dari setiap surat-suratnya, terlebih yang ditujukan kepada Polikarpus. Ia mengatakan bahwa selibat adalah bentuk hidup yang murni dan diperuntukan bagi Allah, dengan penuh komitmen.
”Hidup selibat adalah panggilan Ilahi, tetapi mereka yang menjalaninya harus melakukannya dengan pengabdian penuh kepada Tuhan dan tidak membanggakan diri atas panggilan itu” - Ignatius dari Antiokhia.
St. Ambrosius (340-397 M)
Ambrosius merupakan Uskup milan, yang terus membela hidup selibat dalam Gereja. Dalam karya tulisnya, terlihat dengan jelas dukungan serta pujian yang dia berikan untuk hidup selibat, khususnya bagi biarawan dan biarawati. Ambrosius mengatakan bahwa hidup selibat merupakan persiapan diri untuk menuju dan memasuki kehidupan yang bahagia dan kekal di Surga.
“Selibat adalah persembahan yang murni kepada Tuhan. Mereka yang hidup dalam selibat, menunjukan bahwa mereka adalah milik Allah sepenuhnya, hidup seperti para malaikat yang berada di bumi.” – St. Ambrosius.
St. Basilius Agung (329-379 M)
Basilius Agung merupakan seorang arsitek pada masa kehidupan monastik di Timur. Ia sangat menekankan pentingnya hidup selibat bagi para biarawan dan biarawati. Dengan hidup selibat, manusia dapat melakukan penyangkalan diri agar lebih dekat dengan Allah. Dalam Regulae Fusius Tractatae ( aturan hidup monastik) ia menulis: “Hidup selibat adalah cara untuk mendisiplinkan diri, yakni jiwa dan tubuh, memusatkan pikiran pada Tuhan dan menjauhkan diri dari gangguan dunia.”
Pada akhirnya tradisi patristik tidak hanya mendukung selibat secara teologis, melainkan telah memberi panduan praktis bagi mereka yang berada dalam jalan panggilan ini.
Gerald Yoseph Turambi (Foto IST)
Apa relevansinya di zaman sekarang?
Hidup selibat bagi kaum klerus, biarawan dan biarawati, masih relevan hingga saat ini. Meskipun ditengah dunia yang semakin modern, yang memiliki begitu banyak tantangan, Gereja selalu memberikan peneguhan bagi para pelayannya yang masuk dan tinggal dalam kehidupan selibat. Walau di era yang penuh perubahan ini, baik dari segi nilai-nilai sosial, kemajuan teknologi, serta globalisasi, selibat mampu memberikan pesan yang mendalam bagi dunia pada zaman modern ini. Hal tersebut nampak dalam kesaksian tentang nila-nilai spiritual. Di tengah kenikmatan duniawi yang menjanjikan kepuasan semata, selibat hadir dan menjadi tanda kontradiktif yang mengingatkan manusia pada tujuan hidup yang lebih tinggi. Maka di zaman sekarang, selibat menjadi tanda kesaksian tunggal kehadiran Allah di dunia yang dibelenggu oleh kenikmatan seksual. Oleh karena itu, kehidupan selibat yang diperuntukan bagi Allah tetap relevan dan memiliki daya tarik bagi kaum muda yang mendambakan kebebasan hati untuk mengabdi kepada Allah dan sesama manusia secara total dan utuh.
Gerald Yoseph Turambi (Foto IST)
Tantangan dalam hidup selibat.
Sebagai manusia daging, tentunya mereka yang membaktikan diri dalam hidup selibat, memiliki tantangan yang sangat manusiawi. Tantangan tersebut dapat muncul secara internal maupun eksternal. Walaupun demikian, doa dan relasi yang sehat dengan sahabat selibat dan orang lain, dapat menjadi bentuk perlawanan dalam menghadapi tantangan. Beberapa contoh tantangan dalam hidup selibat, yaitu:
Godaan seksual.
Hal ini merupakan tantangan yang besar bagi kaum selibat karena tidak menikah, sehingga mereka harus mendisiplinkan diri dalam pengendalian dan spiritual.
Kesepian.
Kehilangan keintiman emosional yang sering ditemukan dalam pernikahan.
Tekanan sosial.
Hidup selibat dipandang aneh dan tidak sesuai norma, karena sebagian masyarakat memandang bahwa pernikahan adalah hal yang lebih wajar dibandingkan selibat.
Maka demikian hidup selibat adalah anugerah dan rahmat Ilahi yang diberikan oleh Tuhan kepada setiap orang yang dipilih dan dipanggil oleh-Nya untuk menjalankan tugas untuk membawa kabar gembira tentang karya keselamatan Allah bagi dunia, lewat pengabdian yang tulus dan murni kepada Allah dan sesama manusia. (*)